Selasa, 18 November 2008

Wawancara Edward Tanari, Ketua Umum GMKI : "Siapa Memanfaatkan Siapa"

HMI awal Maret lalu mengadakan Dies Natalis yang terbilang megah untuk ukuran sebuah organisasi pemuda, bahkan dalam acara tersebut juga dihadiri oleh Presiden Soeharto dan sejumlah menteri. Kedekatan HMI dengan pemerintah ini dianggap sebagai penyebab retaknya Kelompok Cipayung. Hal ini terbukti semakin jelas setelah Peristiwa 27 Juli 1996 kemudian dalam kerusuhan Situbondo dan Tasikmalaya, ketika HMI mengambil sikap yang berbeda dengan anggota kelompok Cipayung lainnya. Akibatnya kemandirian HMI banyak dipertanyakan. Terlebih setelah kelompok Cipayung minus HMI membentuk FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia).
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih rinci mengenai apa sebenarnya yang terjadi di dalam Kelompok Cipayung serta bagaimana hubungan antara ormas pemuda dan pemerintah, berikut wawancara Iwan Setiawan dari TEMPO Interaktif dengan Edward Tanari, Ketua Umum GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), organisasi yang kini punya sekitar 30 ribu anggota, di markas GMKI, Salemba Raya 10 Jakpus, Selasa 25 Maret lalu.

Dies Natalis HMI awal Maret lalu tergolong luar biasa karena Pak Harto hadir dalam perayaan tersebut. Apa pengaruhnya bagi HMI?
Saya sebenarnya tidak berkompeten untuk menilai teman-teman di HMI. Tetapi saya bisa menjawab secara lebih umum, bahwa dalam perhitungan politis akan timbul pertanyaan: siapa memanfaatkan siapa. Tidak berarti karena kedekatan itu kita tidak kritis lagi, karena sebagai mahasiswa kita tetap harus mempertahankan prinsip atau idealisme kita.
Apakah kedekatan itu akan mempengaruhi independensi HMI?
Ya, saya kira begitu dan untuk itu yang bisa merasakan adalah mereka sendiri dan terus terang saya agak bingung. Kita juga tidak pernah menuduh ketika pak Harto datang di perayaan itu maka HMI tidak idealis lagi. Belum tentu. Karena ia datang ke sana dalam kapasitas sebagai kepala negara.
Apa akibatnya untuk di masa mendatang bagi HMI?
Ada dua kemungkinan, bisa baik dan bisa juga tidak. Baik, jika kekuasaan itu langgeng nantinya atau jika pemerintah tetap berjalan sesuai dengan konstitusi. Jelek jika terjadi hal sebaliknya. Pada saat itu harus dilihat posisi kita, apakah kita mengabdi kepada pemerintah atau lebih kepada rakyat. Lahirnya negara ini karena adanya rakyat. Jika rakyat tidak ada, siapa yang akan diatur oleh pemerintah?
Kabarnya perayaan itu memakan biaya sekitar Rp 500 juta. Apakah itu pantas untuk sebuah organisasi mahasiswa?
Itu tergantung dari penilaian masing-masing, bagi kami dana tersebut sangat besar tetapi untuk HMI barangkali ukurannya cukup. Intinya bagaimana kita tidak melekat pada nilai materinya.
Jika GMKI punya dana sebesar itu, apa yang akan dilakukan?
Kembali kepada visi kami. Visi kami adalah melayani dan terus terang dalam kepemimpinan saat ini saya bingung bagaimana menutupi dana untuk rencana program kerja selama dua tahun sebesar Rp 410 juta. Padahal ini diluar dana rutin yang kira-kira besarnya Rp 80 juta. Jadi semuanya berkisar Rp 500 juta.
Dana yang didapat dari senior kami tidak lebih dari Rp 50 juta. Dari lembaga donor sekitar Rp 50 juta. Dari mana mencari uang yang Rp 400 juta lagi? Mau tidak mau kami harus bekerjasama dengan pihak-pihak yang bertujuan sama, misalnya program Bina Desa. Jadi jika kami punya dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk program tersebut, karena kebutuhan kami baru berada pada tingkat seperti ini.
Apa yang menjadi visi GMKI sendiri ?
Saya kira semua organisasi punya visi. Dari dulu sampai sekarang visi GMKI tetap sama. Yang pertama, bagaimana menjunjung ekumene menurut ajaran Kristiani. Kedua, adalah bagaimana menanamkan rasa nasionalisme Indonesia didalam diri setiap anggota GMKI. Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu keping mata uang, berbeda tetapi sama pentingnya dan tidak terpisah satu dengan yang lain.
GMKI termasuk dalam kelompok Cipayung. Apakah ada perbedaan peran dari kelompok Cipayung pada tahun 70-80an dengan sekarang ini?
Dalam bahasa teman-teman wartawan, peran kelompok Cipayung melemah pada dekade 90-an. Hal ini justru menunjukkan adanya korelasi yang positif dengan kondisi sosial politik saat ini, di mana sekarang telah banyak bermunculan kelompok-kelompok kritis yang lain. Pada saat kelahiran kelompok Cipayung tahun 70-an, organisasi semacam itu masih jarang dan dalam kondisi saat ini kami masih tetap kritis dan berkeinginan untuk memperbaiki sistem. Persoalannya sekarang adalah: siapa yang masih didengar suaranya oleh pemerintah.
Masalah lainnya adalah bahwa mulai tahun 1980-90-an banyak lahir kelompok-kelompok kajian sosial yang berasal dari golongan yang telah mapan. Banyak dari mereka dahulu berasal dari kelompok Cipayung. Misalnya: Paramadina yang dipimpin Nurcholis Madjid yang dulu pernah aktif di HMI. Sekarang memang ada krisis peran intelektual di dalam kelompok Cipayung. Hasil pemikiran kelompok kajian tadi lebih berbobot karena lebih kaya pengalaman.
Jadi karena itu dilahirkan FKPI?
Masyarakat kita saat ini butuh tidak hanya semacam jargon atau statemen politik saja tetapi mereka butuh karya yang lebih nyata. Inilah ide awal dari terbentuknya FKPI. Jika ada yang mengatakan bahwa lahirnya FKPI terlalu prematur, dari segi pendanaan mungkin benar tetapi dari segi ide tidak. Justru hal itulah yang menjadi perekat utama. Yaitu, dari keinginan bersama untuk berbuat sesuatu yang berguna. FKPI juga mendorong teman-teman untuk aktif di LSM yang terjun langsung ke masyarakat. Dan kita juga berharap agar teman-teman yang lain dapat mengembangkan hal-hal yang serupa.
Apakah dengan didirikannya FKPI juga bertujuan untuk mengucilkan HMI?
Memang sangat disayangkan bahwa ketika kami menggodok ide untuk pembentukan FKPI, teman-teman dari HMI tidak ikut terlibat. Tetapi sebenarnya kami selalu membuka pintu. Bahkan sampai saat ini dan tidak terbatas kepada HMI saja tetapi juga dari semua kalangan untuk bisa bergabung.
Organisasi mahasiswa dengan massa besar seperti HMI cenderung akan dirangkul pemerintah. Bagaimana menurut pendapat Anda?
Saya kira pemerintah Orba sangat mengetahui potensi gerakan mahasiswa, sehingga pada akhirnya muncul kebijakan yang bertujuan mendepolitisasi kampus seperti NKK/BKK. Mereka melihat bahwa kekuatan besar untuk melakukan pembaharuan ada pada mahasiswa. Saat ini kita lihat bahwa hal itu menyebabkan kemandulan dalam proses berpikir mahasiswa itu. Pikiran mereka hanya digunakan untuk ilmu yang dipelajari saja. Tidak ada lagi pembentukan watak. Format aktifitas mahasiswa yang ada bukan lagi atas pilihan mereka tetapi lebih karena kepentingan penguasa, sehingga mereka menjadi tergantung. Inilah kondisi nyata sekarang.
Mengenai kemandirian mahasiswa, hal itu harus dibangun lewat organisasi semacam GMKI, HMI, atau yang lain. Hanya sejauh mana ketekunan kita untuk melakukan hal itu, sehingga kita tidak terkooptasi oleh penguasa.

Tidak ada komentar: