Selasa, 18 November 2008

SUMPAH PEMUDA 28 ; NASIONALISME DAN SEMANGAT PERUBAHAN


Oleh : Edward Tanari*
Sumpah Pemuda yang setiap tahun kita rayakan pada tanggal 28 Oktober, adalah hari yang amat penting dan menentukan bagi kelahiran bangsa Indonesia. Namun, sayangnya, selama 32 tahun Orde Baru hingga era reformasi ini, peringatan Sumpah Pemuda yang amat penting ini, terasa sudah kehilangan “roh”-nya yang revolusioner. Padahal, Sumpah Pemuda adalah salah satu dari berbagai landasan utama kebangkitan nasional dan perekat yang mempersatukan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda adalah spirit nasionalisme bangsa yang melahirkan Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum kelahiran Sumpah pemuda, sudah terjadi banyak perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang dilakukan oleh berbagai elemen bangsa di berbagai daerah, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Namun, karena perjuangan itu sebagian besar bersifat lokal dan kesukuan, maka perlawanan itupun mengalami kegagalan. Sumpah Pemuda yang lahir tahun 1928 berawal ketika puluhan ribu orang ditahan dan dipenjarakan oleh pemerintah Belanda sebagai akibat pembrontakan PKI dalam tahun 1926. Berbagai angkatan muda dari macam-macam suku dan agama menyatukan diri dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dimana akhirnya ribuan orang digiring dalam kamp pembuangan di Bouven Digul. Adalah penting untuk sama-sama kita perhatikan bahwa tokoh-tokoh nasional seperti Moh. Yamin (Jong Sumatranen Bond), Senduk (Jong Celebes), Amir Syarifuddin (Jong Batak), Johanes Leimena (Jong Ambon), adalah peserta-peserta aktif dalam melahirkan Sumpah Pemuda. Dua nama terakhir - Amir Syarifuddin dan Johanes Leimena - dikenal sebagai aktivis CSV op Java (kini GMKI) kala itu. Dan kiranya perlu juga dicatat bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh kaum muda itu, bertepatan ketika Bung Karno aktif melakukan kegiatan politik dimana dua tahun kemudian, beliau ditangkap Belanda dan diajukan di depan pengadilan Bandung. Bung Karno mengucapkan pidato pembelaannya yang terkenal “Indonesia Menggugat”.
Jadi, jelaslah bahwa Sumpah Pemuda adalah semacam kontrak-politik berbagai suku bangsa Indonesia, yang diwujudkan secara kongkrit oleh wakil-wakil kaum muda kala itu. Sumpah Pemuda adalah fondasi penting kebangkitan bangsa Indonesia dan landasan utama bagi pembentukan negara Republik Indonesia.
Kini, diusia Sumpah Pemuda yang ke-80, negara dan bangsa kita kembali dilanda oleh krisis multi dimensi, adalah amat penting bagi kita semua untuk menyimak kembali arti penting hari yang bersejarah ini. Seluruh elemen bangsa harus berusaha menghayati maknanya bagi kelangsungan kehidupan kita bersama ke depan. Selama lebih dari 32 tahun Orde Baru dan kini 10 tahun era reformasi berjalan, Hari Sumpah Pemuda hanya diperingati dengan upacara seremoni yang kebanyakan dikemas dengan pidato para ‘elite’ bangsa yang retorik tanpa aksi nyata, karena terlepas dari jiwa sejarah revolusioner yang melahirkannya. Hal itu tidak bisa lain, karena pemahaman yang kurang tepat dari sebagian besar rakyat Indonesia saat ini bahwa Sumpah Pemuda tidak bisa dipisahkan dari perjuangan politik revolusioner kaum muda termasuk Bung Karno. Mereka juga tidak memahami bahwa Sumpah Pemuda ada kaitan yang erat dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh perjuangan melawan kolonialisme yang menjajah bangsa selama 3 abad lamanya. Hal itu disebabkan oleh ulah para pendukung politik Orde Baru, yang umumnya terdiri dari oknum-oknum reaksioner yang bermental penikmat semata.
Oleh karena politik “de-Sukarnoisasi” yang dilakukan selama puluhan tahun oleh Orde Baru, maka hari Sumpah Pemuda pun kehilangan roh revolusionernya. Adalah kewajiban pemerintah dan berbagai lembaga negara kita untuk mengangkat kembali Sumpah Pemuda sebagai senjata ampuh dalam mempersatukan bangsa dan negara, yang sekarang sedang terancam oleh beraneka-ragam rongrongan dari banyak fihak. Kita semua tidak bioleh hanya menggantungkan harapan kepada kemauan atau kemampuan kaum ‘elite’ saja. Spirit kebangkitan bangsa melalui perayaan dan peringatan hari Sumpah Pemuda haruslah dipanggul bersama-sama oleh seluruh elemen bangsa yakni; Mahasiswa, pemuda, LSM, partai-partai politik, organisasi-organisasi buruh, tani, perempuan dan lain-lain.
Menolak neo-liberalisme
Adalah Joseph E. Stiglitz, seorang pakar penerima hadiah Nobel untuk keahliannya di bidang ekonomi dan juga pernah menjadi penasehat penting dari Presiden Clinton mengeluarkan pendapatnya yang kritis mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan politik pemerintahan RI dalam masalah penanaman modal asing di Indonesia.
Sebagian dari kritik economist terkemuka itu dapat dilihat dalam interviewnya dengan Tempo, yang disiarkan oleh Tempo Interaktif (16 Agustus 2007), yang antara lain adalah: Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Stiglitz mengatakan, jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing.
"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz dalam wawancara eksklusif dengan Tempo. ”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksploitasi di Papua.
Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia.
Freeport Indonesia seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu telah melakukan pencemaran lingkungan selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan limbahnya.
Stiglitz juga menyoroti keberhasilan Bolivia menegosiasi ulang kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai penambangan minyak dan gas. Negara miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen, ujarnya. Dan para investor asing itu, kata dia, tetap disana.
Untuk menetralisir tekanan yang muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat yang mendukung perusahaan asing secara diam-diam, seperti ExxonMobil, Stiglitz punya saran. Menurutnya, media massa harus mempublikasikannya. "Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya, sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang”.
Kritik tajam Josepf Stiglitz ini, patut menjadi perhatian dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat serta kaum muda dan aktifis berbagai organisasi di Indonesia yang selama ini juga sudah menentang politik pemerintah mengenai modal asing.
Jika kita menyimak secara seksama kritik Stiglitz mengenai politik pemerintah Indonesia sejak Orde Baru hingga pemerintahan saat ini, maka kelihatan bahwa politik mengenai modal asing di Indonesia memang perlu sekali direformasi. Ironisnya bahwa saat kritik Stiglitz ini disampaikan, pemerintah bersama fraksi-fraksi Partai di DPR (kecuali Fraksi PDI perjuangan) mengesahkan Undang-Undang tentang penanaman modal asing yang memberi ruang yang sangat longgar bagi perusahaan asing pemburu rente untuk bercokol lama dan sah di Indonesia.
Saat ini, level pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah rata-rata sebelum krisis yang pernah berada di atas 7 persen per tahun. Jika Indonesia gagal menerapkan kebijakan sendiri dalam mengelola dampak globalisasi, Stiglitz khawatir persoalan kemiskinan, pengangguran dan dampak lingkungan akan kian memburuk. Mengambil contoh Argentina, yang juga terpukul krisis ekonomi dan diperburuk kebijakan IMF, pendekatan kebijakan yang berbeda membuat hasil yang berbeda. Argentina berhasil mengatrol pertumbuhan ekonomi rata-rata 8 persen per tahun setelah krisis.
Dengan membaca dua berita yang disiarkan Tempo dan Bisnis Indonesia tersebut, kita bisa mendapat kesan bahwa apa yang diucapkan oleh Stiglitz merupakan kritik yang tajam sekali; bahkan bisa dikatakan sebagai “tamparan” yang tidak tanggung-tanggung bagi pemerintah yang sudah menjadikan RI sebagai sapi perahan bagi kepentingan asing, sedangkan ratusan juta penduduk Indonesia masih menderita karena kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan, dimana saat ini menurut World Food Programme (WFP), masih ada 13 juta anak-anak yang kekurangan makan, tingkat pengangguran yang tinggi dan kemiskinan yang semakin mencolok.
Dengan makin bangkitnya kesadaran di kalangan intelektual, mahasiswa, kaum muda dan pemimpin-pemimpin organisasi di Indonesia tentang kerugian-kerugian bagi negara dan rakyat yang disebabkan oleh multi national corporations (MNC’s), mungkinkah diharapkan bahwa kritik tajam dan anjuran Stiglitz seperti tersebut akan lebih menggalakkan perlawanan bersama terhadap akibat-akibat negatif dari globalisasi dan neo-liberalisme?
Sekarang situasi negeri sudah makin menunjukkan bahwa sudah cukuplah kita menjadi bangsa kuli dan jangan sampai menjadi kuli bangsa-bangsa. Kita harus bersama-sama bangkit menggugah nasionalisme dan kemandirian bangsa dengan berdiri di atas kaki sendiri, alias berdikari kata Bung Karno.
Indonesia membutuhkan semangat perubahan
Tepat sepuluh tahun yang lalu aksi besar-besaran yang dilancarkan oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa Indonesia telah memperoleh kemenangan yang bersejarah bagi seluruh bangsa, yaitu tumbangnya rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Tumbangnya rezim Soeharto itu dikenal sebagai era reformasi. Bangsa Indonesia patut selalu mengenang dan juga berterima kasih atas jasa besar yang telah dibuat oleh kaum mudanya dari masa ke masa. Mungkin sekali, tanpa gerakan mahasiswa yang besar-besaran itu, tumbangnya rezim Soeharto harus menunggu waktu yang lama.
Saat ini, kondisi bangsa kembali mengalami goncangan. Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas sampai puluhan juta orang, anak-anak balita yang kurang gizi begitu banyak – diperkirakan 27% dari seluruh balita di Indonesia, korupsi yang masih terus merajalela, degradasi moral dan kebejatan iman yang telah membusukkan kehidupan masyarakat bangsa, kasus BLBI yang tak kunjung tuntas, sistem hukum dan peradilan yang ‘tebang pilih’, berbagai pelanggaran HAM, adalah semuanya produk dari system kekuasaan politik yang tidak jelas dan tegas.
Maraknya aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai golongan antara lain: pemuda, mahasiswa, buruh, tani, perempuan, pedagang kecil, korban Lapindo, rakyat miskin, dll., juga menunjukkan makin bertambahnya kesadaran banyak orang untuk berorganisasi dan melakukan kegiatan atau perjuangan secara kolektif dan terkoordinasi. Walaupun sebagian dari aksi-aksi ini untuk sementara masih berjalan sendiri-sendiri atau terpencar-pencar, namun tetap merupakan bagian dari perkembangan yang penting. Sebab, perkembangan perjuangan berbagai golongan ini akhirnya akan melahirkan kekuatan-kekuatan baru dan pemimpin-pemimpin baru, setelah melalui “seleksi” jangka panjang oleh rakyat yang mendambakan demokrasi dan keadilan yang sejati. Dalam situasi seperti ini, peran kaum muda dari berbagai kalangan adalah sangat penting, sebagai bagian dari agen perubahan.
Menyadari hal itu, kiranya bagi seluruh kekuatan demokratis yang betul-betul mendambakan adanya perubahan demi kepentingan rakyat dan terutama rakyat miskin, tidak ada jalan lain kecuali melakukan perubahan yang elegan bagi kehidupan bangsa yang lebih baik. Kalau perubahan dapat dilakukan, kita bisa berharap bahwa tidak akan ada lagi ibu hamil tua yang mati kelaparan bersama anak-anaknya seperti yang terjadi di Makassar, atau begitu banyak bayi-bayi yang menderita karena kekurangan gizi di Indonesia Timur, atau lebih dari 40 juta orang yang hidup miskin sekali di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Juga, hanya dengan perubahan yang betul-betul pro-rakyat, kasus-kasus sejenis BLBI bisa diberantas habis dan rakyat korban lumpur Lapindo bisa mendapatkan keadilan dan kepastian masa depannya yang telah tercerabut.
Singkatnya, negara dan bangsa Indonesia sudah makin membutuhkan perubahan sejati yang yang pro-rakyat, yang bisa digunakan untuk membangun masyarakat adil dan makmur, seperti yang dicita-citakan oleh semangat Sumpah Pemuda yang melahirkan Proklamasi 17 Agustus 45. Kaum muda Indonesia harus memaknai semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober dengan paradigma baru pembaruan dengan perjuangan yang lebih konkrit. Kita tidak bisa berharap pembaruan dengan sekedar retorika, atau berharap makan dari manna yang jatuh dari langit seperti di era Nabi Musa. Perubahan harus diperjuangkan dengan visi dan misi yang jelas.
Satu tahun terakhir, dunia terpesona dengan tampilnya tokoh muda Barack Obama menjadi kandidat Presiden Amerika. Tema perubahan menjadi icon kampanye Obama. Hampir seluruh rakyat Amerika dan bahkan dunia mendukung Obama tanpa mempersoalkan latar belakang Obama yang ber-ayah warga negara Kenya, dan pernah tinggal di Indonesia. Akhirnya, perjuangan seorang Obama pun mencapai klimaks dimana tanggal 4 November lalu, Barack Huzain Obama Junior terpilih menjadi Presiden AS ke 44. Kemenangan Obama ini pun kiranya menjadi inspirasi baru bagi kaum muda bahwa semangat perubahan tetap dipundak mereka. Pertanyaannya adalah adakah kesadaran itu tetap dimiliki oleh kaum muda Indonesia? Semoga !!

----------------
 Penulis adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI 1996-1998, kini wakil sekretaris bidang komunikasi politik BPPEMILU DPP PDI Perjuangan, 2005-2010.

Tidak ada komentar: