Selasa, 18 November 2008

Profile


EDWARD TANARI, lahir di Palopo (Sulawesi Selatan), Tanggal 11 Juli 1967. Mengawali sekolah di SD Negeri 71 Latuppa, Palopo Tahun 1973 dan menamatkan di SD dan SMP Negeri I di Kab.Sidrap yang merupakan salah satu daerah lumbung padi nasional di Indonesia Timur. Setelah tamat SMP, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I Ujung Pandang (kini Makassar) hingga tamat Tahun 1986. Terkesan dengan kehidupan petani semasa kecil di Kab. Sidrap, penulis pun melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, dan lulus pada Tahun 1991 dengan judul skripsi: ”Pengaruh Berbagai Tingkat Konsentrasi Urine Sapi dan Sitozim Terhadap Pertumbuhan Stek Lada (Piper nigrum L.)”. Kehidupannya sebagai aktifis organisasi sejak mahasiswa mengharuskannya hijrah ke kota metropolitan Jakarta Tahun 1992. Sambil menjalani kegiatan sebagai aktifis, penulis pun melanjutkan studi Pasca Sarjana di Program Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia (UI) tahun 1994 dan lulus tahun 1997 dengan judul thesis: ”Dampak Aplikasi Lumpur Limbah Industri Sebagai Pupuk Pada Tanaman” serta karya ilmiah dengan judul: ”Penegakan Peraturan Pengendalian Hama Terpadu Dalam Rangka Mewujudkan Pertanian Lestari dan Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)”.

Beberapa kegiatan dan jabatan yang pernah disandang oleh penulis antara lain:
• Staf Ahli Poksi IV Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan dan BULOG, Tahun 2006-sekarang.
• Deputi II Komunitas Tumbuh Bersama (KTB) dan Badan Pelatihan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (BP2ER), Tahun 2005-sekarang.
• Wakil Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (BP-PEMILU) DPP PDI Perjuangan, Tahun 2005-2010.
• Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) di era Reformasi, Tahun 1996-1998.
• Direktur Eksekutif Institut Nasional Untuk Demokrasi dan Perdamaian (INDeP) Tahun 1999-2001.
• Dewan Pendiri Aliansi Nasional Untuk Konsolidasi Demokrasi (ANKD), Tahun 2000-2002.
• Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia Tahun 2000-2005.
• Konsultan Community Development Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta, Kutai Timur, Tahun 2002.
• Calon Legislatif PDI Perjuangan untuk Daerah Pemilihan Kab. Palopo dan Luwu, Tahun 1999.
• Calon Legislatif PDI Perjuangan untuk Daerah Pemilihan Sulsel-1, Tahun 2004.
• Staf Ahli Panitia Pemenangan Pemilu (PAPPU) DPP PDI Perjuangan, Tahun 2004.
• Koordinator Tim Sukses Mega- Muzadi (M2) Sulawesi Selatan, Tahun 2004.

Selain hal di atas, Edward yang akrab dipanggil ”edo” hingga kini aktif sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat dan menulis artikel diberbagai media tentang pemuda, mahasiswa, nasionalisme, religiositas, lingkungan dan sosial politik.

Selama menjadi aktivis Mahasiswa, pernah di utus oleh Keduataan Besar USA melalui USIS mengikuti follow study tentang’ ”American Civil Society” di Amerika (San Fransisco, New York, Washington, Iowa, Ithaca dan Texas). Pernah juga menjadi anggota delegasi Indonesia pada Festival Budaya Asia Pasifik di Yi-Lan, Taiwan Tahun 2004 dan 2007.

Wawancara Edward Tanari, Ketua Umum GMKI : "Siapa Memanfaatkan Siapa"

HMI awal Maret lalu mengadakan Dies Natalis yang terbilang megah untuk ukuran sebuah organisasi pemuda, bahkan dalam acara tersebut juga dihadiri oleh Presiden Soeharto dan sejumlah menteri. Kedekatan HMI dengan pemerintah ini dianggap sebagai penyebab retaknya Kelompok Cipayung. Hal ini terbukti semakin jelas setelah Peristiwa 27 Juli 1996 kemudian dalam kerusuhan Situbondo dan Tasikmalaya, ketika HMI mengambil sikap yang berbeda dengan anggota kelompok Cipayung lainnya. Akibatnya kemandirian HMI banyak dipertanyakan. Terlebih setelah kelompok Cipayung minus HMI membentuk FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia).
Untuk mendapatkan keterangan yang lebih rinci mengenai apa sebenarnya yang terjadi di dalam Kelompok Cipayung serta bagaimana hubungan antara ormas pemuda dan pemerintah, berikut wawancara Iwan Setiawan dari TEMPO Interaktif dengan Edward Tanari, Ketua Umum GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), organisasi yang kini punya sekitar 30 ribu anggota, di markas GMKI, Salemba Raya 10 Jakpus, Selasa 25 Maret lalu.

Dies Natalis HMI awal Maret lalu tergolong luar biasa karena Pak Harto hadir dalam perayaan tersebut. Apa pengaruhnya bagi HMI?
Saya sebenarnya tidak berkompeten untuk menilai teman-teman di HMI. Tetapi saya bisa menjawab secara lebih umum, bahwa dalam perhitungan politis akan timbul pertanyaan: siapa memanfaatkan siapa. Tidak berarti karena kedekatan itu kita tidak kritis lagi, karena sebagai mahasiswa kita tetap harus mempertahankan prinsip atau idealisme kita.
Apakah kedekatan itu akan mempengaruhi independensi HMI?
Ya, saya kira begitu dan untuk itu yang bisa merasakan adalah mereka sendiri dan terus terang saya agak bingung. Kita juga tidak pernah menuduh ketika pak Harto datang di perayaan itu maka HMI tidak idealis lagi. Belum tentu. Karena ia datang ke sana dalam kapasitas sebagai kepala negara.
Apa akibatnya untuk di masa mendatang bagi HMI?
Ada dua kemungkinan, bisa baik dan bisa juga tidak. Baik, jika kekuasaan itu langgeng nantinya atau jika pemerintah tetap berjalan sesuai dengan konstitusi. Jelek jika terjadi hal sebaliknya. Pada saat itu harus dilihat posisi kita, apakah kita mengabdi kepada pemerintah atau lebih kepada rakyat. Lahirnya negara ini karena adanya rakyat. Jika rakyat tidak ada, siapa yang akan diatur oleh pemerintah?
Kabarnya perayaan itu memakan biaya sekitar Rp 500 juta. Apakah itu pantas untuk sebuah organisasi mahasiswa?
Itu tergantung dari penilaian masing-masing, bagi kami dana tersebut sangat besar tetapi untuk HMI barangkali ukurannya cukup. Intinya bagaimana kita tidak melekat pada nilai materinya.
Jika GMKI punya dana sebesar itu, apa yang akan dilakukan?
Kembali kepada visi kami. Visi kami adalah melayani dan terus terang dalam kepemimpinan saat ini saya bingung bagaimana menutupi dana untuk rencana program kerja selama dua tahun sebesar Rp 410 juta. Padahal ini diluar dana rutin yang kira-kira besarnya Rp 80 juta. Jadi semuanya berkisar Rp 500 juta.
Dana yang didapat dari senior kami tidak lebih dari Rp 50 juta. Dari lembaga donor sekitar Rp 50 juta. Dari mana mencari uang yang Rp 400 juta lagi? Mau tidak mau kami harus bekerjasama dengan pihak-pihak yang bertujuan sama, misalnya program Bina Desa. Jadi jika kami punya dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk program tersebut, karena kebutuhan kami baru berada pada tingkat seperti ini.
Apa yang menjadi visi GMKI sendiri ?
Saya kira semua organisasi punya visi. Dari dulu sampai sekarang visi GMKI tetap sama. Yang pertama, bagaimana menjunjung ekumene menurut ajaran Kristiani. Kedua, adalah bagaimana menanamkan rasa nasionalisme Indonesia didalam diri setiap anggota GMKI. Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu keping mata uang, berbeda tetapi sama pentingnya dan tidak terpisah satu dengan yang lain.
GMKI termasuk dalam kelompok Cipayung. Apakah ada perbedaan peran dari kelompok Cipayung pada tahun 70-80an dengan sekarang ini?
Dalam bahasa teman-teman wartawan, peran kelompok Cipayung melemah pada dekade 90-an. Hal ini justru menunjukkan adanya korelasi yang positif dengan kondisi sosial politik saat ini, di mana sekarang telah banyak bermunculan kelompok-kelompok kritis yang lain. Pada saat kelahiran kelompok Cipayung tahun 70-an, organisasi semacam itu masih jarang dan dalam kondisi saat ini kami masih tetap kritis dan berkeinginan untuk memperbaiki sistem. Persoalannya sekarang adalah: siapa yang masih didengar suaranya oleh pemerintah.
Masalah lainnya adalah bahwa mulai tahun 1980-90-an banyak lahir kelompok-kelompok kajian sosial yang berasal dari golongan yang telah mapan. Banyak dari mereka dahulu berasal dari kelompok Cipayung. Misalnya: Paramadina yang dipimpin Nurcholis Madjid yang dulu pernah aktif di HMI. Sekarang memang ada krisis peran intelektual di dalam kelompok Cipayung. Hasil pemikiran kelompok kajian tadi lebih berbobot karena lebih kaya pengalaman.
Jadi karena itu dilahirkan FKPI?
Masyarakat kita saat ini butuh tidak hanya semacam jargon atau statemen politik saja tetapi mereka butuh karya yang lebih nyata. Inilah ide awal dari terbentuknya FKPI. Jika ada yang mengatakan bahwa lahirnya FKPI terlalu prematur, dari segi pendanaan mungkin benar tetapi dari segi ide tidak. Justru hal itulah yang menjadi perekat utama. Yaitu, dari keinginan bersama untuk berbuat sesuatu yang berguna. FKPI juga mendorong teman-teman untuk aktif di LSM yang terjun langsung ke masyarakat. Dan kita juga berharap agar teman-teman yang lain dapat mengembangkan hal-hal yang serupa.
Apakah dengan didirikannya FKPI juga bertujuan untuk mengucilkan HMI?
Memang sangat disayangkan bahwa ketika kami menggodok ide untuk pembentukan FKPI, teman-teman dari HMI tidak ikut terlibat. Tetapi sebenarnya kami selalu membuka pintu. Bahkan sampai saat ini dan tidak terbatas kepada HMI saja tetapi juga dari semua kalangan untuk bisa bergabung.
Organisasi mahasiswa dengan massa besar seperti HMI cenderung akan dirangkul pemerintah. Bagaimana menurut pendapat Anda?
Saya kira pemerintah Orba sangat mengetahui potensi gerakan mahasiswa, sehingga pada akhirnya muncul kebijakan yang bertujuan mendepolitisasi kampus seperti NKK/BKK. Mereka melihat bahwa kekuatan besar untuk melakukan pembaharuan ada pada mahasiswa. Saat ini kita lihat bahwa hal itu menyebabkan kemandulan dalam proses berpikir mahasiswa itu. Pikiran mereka hanya digunakan untuk ilmu yang dipelajari saja. Tidak ada lagi pembentukan watak. Format aktifitas mahasiswa yang ada bukan lagi atas pilihan mereka tetapi lebih karena kepentingan penguasa, sehingga mereka menjadi tergantung. Inilah kondisi nyata sekarang.
Mengenai kemandirian mahasiswa, hal itu harus dibangun lewat organisasi semacam GMKI, HMI, atau yang lain. Hanya sejauh mana ketekunan kita untuk melakukan hal itu, sehingga kita tidak terkooptasi oleh penguasa.

SUMPAH PEMUDA 28 ; NASIONALISME DAN SEMANGAT PERUBAHAN


Oleh : Edward Tanari*
Sumpah Pemuda yang setiap tahun kita rayakan pada tanggal 28 Oktober, adalah hari yang amat penting dan menentukan bagi kelahiran bangsa Indonesia. Namun, sayangnya, selama 32 tahun Orde Baru hingga era reformasi ini, peringatan Sumpah Pemuda yang amat penting ini, terasa sudah kehilangan “roh”-nya yang revolusioner. Padahal, Sumpah Pemuda adalah salah satu dari berbagai landasan utama kebangkitan nasional dan perekat yang mempersatukan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda adalah spirit nasionalisme bangsa yang melahirkan Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebelum kelahiran Sumpah pemuda, sudah terjadi banyak perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang dilakukan oleh berbagai elemen bangsa di berbagai daerah, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Namun, karena perjuangan itu sebagian besar bersifat lokal dan kesukuan, maka perlawanan itupun mengalami kegagalan. Sumpah Pemuda yang lahir tahun 1928 berawal ketika puluhan ribu orang ditahan dan dipenjarakan oleh pemerintah Belanda sebagai akibat pembrontakan PKI dalam tahun 1926. Berbagai angkatan muda dari macam-macam suku dan agama menyatukan diri dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dimana akhirnya ribuan orang digiring dalam kamp pembuangan di Bouven Digul. Adalah penting untuk sama-sama kita perhatikan bahwa tokoh-tokoh nasional seperti Moh. Yamin (Jong Sumatranen Bond), Senduk (Jong Celebes), Amir Syarifuddin (Jong Batak), Johanes Leimena (Jong Ambon), adalah peserta-peserta aktif dalam melahirkan Sumpah Pemuda. Dua nama terakhir - Amir Syarifuddin dan Johanes Leimena - dikenal sebagai aktivis CSV op Java (kini GMKI) kala itu. Dan kiranya perlu juga dicatat bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh kaum muda itu, bertepatan ketika Bung Karno aktif melakukan kegiatan politik dimana dua tahun kemudian, beliau ditangkap Belanda dan diajukan di depan pengadilan Bandung. Bung Karno mengucapkan pidato pembelaannya yang terkenal “Indonesia Menggugat”.
Jadi, jelaslah bahwa Sumpah Pemuda adalah semacam kontrak-politik berbagai suku bangsa Indonesia, yang diwujudkan secara kongkrit oleh wakil-wakil kaum muda kala itu. Sumpah Pemuda adalah fondasi penting kebangkitan bangsa Indonesia dan landasan utama bagi pembentukan negara Republik Indonesia.
Kini, diusia Sumpah Pemuda yang ke-80, negara dan bangsa kita kembali dilanda oleh krisis multi dimensi, adalah amat penting bagi kita semua untuk menyimak kembali arti penting hari yang bersejarah ini. Seluruh elemen bangsa harus berusaha menghayati maknanya bagi kelangsungan kehidupan kita bersama ke depan. Selama lebih dari 32 tahun Orde Baru dan kini 10 tahun era reformasi berjalan, Hari Sumpah Pemuda hanya diperingati dengan upacara seremoni yang kebanyakan dikemas dengan pidato para ‘elite’ bangsa yang retorik tanpa aksi nyata, karena terlepas dari jiwa sejarah revolusioner yang melahirkannya. Hal itu tidak bisa lain, karena pemahaman yang kurang tepat dari sebagian besar rakyat Indonesia saat ini bahwa Sumpah Pemuda tidak bisa dipisahkan dari perjuangan politik revolusioner kaum muda termasuk Bung Karno. Mereka juga tidak memahami bahwa Sumpah Pemuda ada kaitan yang erat dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh perjuangan melawan kolonialisme yang menjajah bangsa selama 3 abad lamanya. Hal itu disebabkan oleh ulah para pendukung politik Orde Baru, yang umumnya terdiri dari oknum-oknum reaksioner yang bermental penikmat semata.
Oleh karena politik “de-Sukarnoisasi” yang dilakukan selama puluhan tahun oleh Orde Baru, maka hari Sumpah Pemuda pun kehilangan roh revolusionernya. Adalah kewajiban pemerintah dan berbagai lembaga negara kita untuk mengangkat kembali Sumpah Pemuda sebagai senjata ampuh dalam mempersatukan bangsa dan negara, yang sekarang sedang terancam oleh beraneka-ragam rongrongan dari banyak fihak. Kita semua tidak bioleh hanya menggantungkan harapan kepada kemauan atau kemampuan kaum ‘elite’ saja. Spirit kebangkitan bangsa melalui perayaan dan peringatan hari Sumpah Pemuda haruslah dipanggul bersama-sama oleh seluruh elemen bangsa yakni; Mahasiswa, pemuda, LSM, partai-partai politik, organisasi-organisasi buruh, tani, perempuan dan lain-lain.
Menolak neo-liberalisme
Adalah Joseph E. Stiglitz, seorang pakar penerima hadiah Nobel untuk keahliannya di bidang ekonomi dan juga pernah menjadi penasehat penting dari Presiden Clinton mengeluarkan pendapatnya yang kritis mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan politik pemerintahan RI dalam masalah penanaman modal asing di Indonesia.
Sebagian dari kritik economist terkemuka itu dapat dilihat dalam interviewnya dengan Tempo, yang disiarkan oleh Tempo Interaktif (16 Agustus 2007), yang antara lain adalah: Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Stiglitz mengatakan, jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing.
"Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz dalam wawancara eksklusif dengan Tempo. ”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksploitasi di Papua.
Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia.
Freeport Indonesia seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu telah melakukan pencemaran lingkungan selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan limbahnya.
Stiglitz juga menyoroti keberhasilan Bolivia menegosiasi ulang kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai penambangan minyak dan gas. Negara miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen, ujarnya. Dan para investor asing itu, kata dia, tetap disana.
Untuk menetralisir tekanan yang muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat yang mendukung perusahaan asing secara diam-diam, seperti ExxonMobil, Stiglitz punya saran. Menurutnya, media massa harus mempublikasikannya. "Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya, sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang”.
Kritik tajam Josepf Stiglitz ini, patut menjadi perhatian dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat serta kaum muda dan aktifis berbagai organisasi di Indonesia yang selama ini juga sudah menentang politik pemerintah mengenai modal asing.
Jika kita menyimak secara seksama kritik Stiglitz mengenai politik pemerintah Indonesia sejak Orde Baru hingga pemerintahan saat ini, maka kelihatan bahwa politik mengenai modal asing di Indonesia memang perlu sekali direformasi. Ironisnya bahwa saat kritik Stiglitz ini disampaikan, pemerintah bersama fraksi-fraksi Partai di DPR (kecuali Fraksi PDI perjuangan) mengesahkan Undang-Undang tentang penanaman modal asing yang memberi ruang yang sangat longgar bagi perusahaan asing pemburu rente untuk bercokol lama dan sah di Indonesia.
Saat ini, level pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah rata-rata sebelum krisis yang pernah berada di atas 7 persen per tahun. Jika Indonesia gagal menerapkan kebijakan sendiri dalam mengelola dampak globalisasi, Stiglitz khawatir persoalan kemiskinan, pengangguran dan dampak lingkungan akan kian memburuk. Mengambil contoh Argentina, yang juga terpukul krisis ekonomi dan diperburuk kebijakan IMF, pendekatan kebijakan yang berbeda membuat hasil yang berbeda. Argentina berhasil mengatrol pertumbuhan ekonomi rata-rata 8 persen per tahun setelah krisis.
Dengan membaca dua berita yang disiarkan Tempo dan Bisnis Indonesia tersebut, kita bisa mendapat kesan bahwa apa yang diucapkan oleh Stiglitz merupakan kritik yang tajam sekali; bahkan bisa dikatakan sebagai “tamparan” yang tidak tanggung-tanggung bagi pemerintah yang sudah menjadikan RI sebagai sapi perahan bagi kepentingan asing, sedangkan ratusan juta penduduk Indonesia masih menderita karena kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan, dimana saat ini menurut World Food Programme (WFP), masih ada 13 juta anak-anak yang kekurangan makan, tingkat pengangguran yang tinggi dan kemiskinan yang semakin mencolok.
Dengan makin bangkitnya kesadaran di kalangan intelektual, mahasiswa, kaum muda dan pemimpin-pemimpin organisasi di Indonesia tentang kerugian-kerugian bagi negara dan rakyat yang disebabkan oleh multi national corporations (MNC’s), mungkinkah diharapkan bahwa kritik tajam dan anjuran Stiglitz seperti tersebut akan lebih menggalakkan perlawanan bersama terhadap akibat-akibat negatif dari globalisasi dan neo-liberalisme?
Sekarang situasi negeri sudah makin menunjukkan bahwa sudah cukuplah kita menjadi bangsa kuli dan jangan sampai menjadi kuli bangsa-bangsa. Kita harus bersama-sama bangkit menggugah nasionalisme dan kemandirian bangsa dengan berdiri di atas kaki sendiri, alias berdikari kata Bung Karno.
Indonesia membutuhkan semangat perubahan
Tepat sepuluh tahun yang lalu aksi besar-besaran yang dilancarkan oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa Indonesia telah memperoleh kemenangan yang bersejarah bagi seluruh bangsa, yaitu tumbangnya rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Tumbangnya rezim Soeharto itu dikenal sebagai era reformasi. Bangsa Indonesia patut selalu mengenang dan juga berterima kasih atas jasa besar yang telah dibuat oleh kaum mudanya dari masa ke masa. Mungkin sekali, tanpa gerakan mahasiswa yang besar-besaran itu, tumbangnya rezim Soeharto harus menunggu waktu yang lama.
Saat ini, kondisi bangsa kembali mengalami goncangan. Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas sampai puluhan juta orang, anak-anak balita yang kurang gizi begitu banyak – diperkirakan 27% dari seluruh balita di Indonesia, korupsi yang masih terus merajalela, degradasi moral dan kebejatan iman yang telah membusukkan kehidupan masyarakat bangsa, kasus BLBI yang tak kunjung tuntas, sistem hukum dan peradilan yang ‘tebang pilih’, berbagai pelanggaran HAM, adalah semuanya produk dari system kekuasaan politik yang tidak jelas dan tegas.
Maraknya aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai golongan antara lain: pemuda, mahasiswa, buruh, tani, perempuan, pedagang kecil, korban Lapindo, rakyat miskin, dll., juga menunjukkan makin bertambahnya kesadaran banyak orang untuk berorganisasi dan melakukan kegiatan atau perjuangan secara kolektif dan terkoordinasi. Walaupun sebagian dari aksi-aksi ini untuk sementara masih berjalan sendiri-sendiri atau terpencar-pencar, namun tetap merupakan bagian dari perkembangan yang penting. Sebab, perkembangan perjuangan berbagai golongan ini akhirnya akan melahirkan kekuatan-kekuatan baru dan pemimpin-pemimpin baru, setelah melalui “seleksi” jangka panjang oleh rakyat yang mendambakan demokrasi dan keadilan yang sejati. Dalam situasi seperti ini, peran kaum muda dari berbagai kalangan adalah sangat penting, sebagai bagian dari agen perubahan.
Menyadari hal itu, kiranya bagi seluruh kekuatan demokratis yang betul-betul mendambakan adanya perubahan demi kepentingan rakyat dan terutama rakyat miskin, tidak ada jalan lain kecuali melakukan perubahan yang elegan bagi kehidupan bangsa yang lebih baik. Kalau perubahan dapat dilakukan, kita bisa berharap bahwa tidak akan ada lagi ibu hamil tua yang mati kelaparan bersama anak-anaknya seperti yang terjadi di Makassar, atau begitu banyak bayi-bayi yang menderita karena kekurangan gizi di Indonesia Timur, atau lebih dari 40 juta orang yang hidup miskin sekali di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Juga, hanya dengan perubahan yang betul-betul pro-rakyat, kasus-kasus sejenis BLBI bisa diberantas habis dan rakyat korban lumpur Lapindo bisa mendapatkan keadilan dan kepastian masa depannya yang telah tercerabut.
Singkatnya, negara dan bangsa Indonesia sudah makin membutuhkan perubahan sejati yang yang pro-rakyat, yang bisa digunakan untuk membangun masyarakat adil dan makmur, seperti yang dicita-citakan oleh semangat Sumpah Pemuda yang melahirkan Proklamasi 17 Agustus 45. Kaum muda Indonesia harus memaknai semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober dengan paradigma baru pembaruan dengan perjuangan yang lebih konkrit. Kita tidak bisa berharap pembaruan dengan sekedar retorika, atau berharap makan dari manna yang jatuh dari langit seperti di era Nabi Musa. Perubahan harus diperjuangkan dengan visi dan misi yang jelas.
Satu tahun terakhir, dunia terpesona dengan tampilnya tokoh muda Barack Obama menjadi kandidat Presiden Amerika. Tema perubahan menjadi icon kampanye Obama. Hampir seluruh rakyat Amerika dan bahkan dunia mendukung Obama tanpa mempersoalkan latar belakang Obama yang ber-ayah warga negara Kenya, dan pernah tinggal di Indonesia. Akhirnya, perjuangan seorang Obama pun mencapai klimaks dimana tanggal 4 November lalu, Barack Huzain Obama Junior terpilih menjadi Presiden AS ke 44. Kemenangan Obama ini pun kiranya menjadi inspirasi baru bagi kaum muda bahwa semangat perubahan tetap dipundak mereka. Pertanyaannya adalah adakah kesadaran itu tetap dimiliki oleh kaum muda Indonesia? Semoga !!

----------------
 Penulis adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat GMKI 1996-1998, kini wakil sekretaris bidang komunikasi politik BPPEMILU DPP PDI Perjuangan, 2005-2010.